Antara Fanatik dengan Kurangnya Empati


Oleh. Al Chayyu Randy Sudirto

Sebagai seorang individu sosial yang tak pernah bisa menghindar untuk bermasyarakat, tentu kita mendambakan tatanan sosial yang harmonis. Apalagi keadaan Indonesia yang sekarang itu jauh dari kata sempurna. Sebut saja konflik di Papua, Ambon, Sampit, dan konflik yang melibatkan Ormas. Semua itu ditandai dengan fanatisme yang mengakibatkan berbagai hal penyimpangan seperti rasisme, primordialisme dsb.  Sementara, di negara tertentu seperti Denmark tercatat menduduki negara yang penduduknya paling bahagia berturut turut dalam beberapa tahun terakhir menurut PBB, salah satunya dikarenakan Denmark mengadopsi kelas empati di dalam kurikulumnya sejak 1993. Lantas, apakah itu empati? Sejauh mana empati membawa kebahagian sehingga Denmark bisa menduduki salah satu negara terbaik dalam indeks kebahagiaan? Dan bagaimana kita bisa belajar dari Denmark untuk membuat tatanan masyarakat yang harmonis di Indonesia?.


Secara sederhana empati adalah kecenderungan merasakan emosi orang lain tanpa harus merasakan apa yang dialaminya. Orang yang memiliki kemampuan empati biasanya akan mampu berpikir lebih jernih dan memberikan solusi yang lebih rasional. Sementara fanatisme yang berlebihan dapat menimbulkan hilangnya sikap menerima kebenaran dari kelompok lain. Di Indonesia sendiri banyak terjadi konflik yang dikarenakan fanatisme terhadap institusi, orang,maupun fraksi masyarakat tertentu. Sebenarnya jika setiap individu sudah bisa merasakan emosional orang lain, maka jarang terjadi narasi ujaran kejahatan atau pun kebencian dan membuat masyarakat peka terhadap masalah sosial di sekitarnya. Sebagaimana yang terjadi di Denmark, di kelas empati yang dilatih mereka diberi narasi-narasi untuk menghargai perbedaan dan mengerti kesedihan orang lain. Terbukti dengan kelas empati menjadi sebuah investasi ke generasi selanjutnya. Di Denmark sendiri memiliki angka kejahatan 5 terendah dari seluruh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Bahkan tidak ada kejahatan di jalanan, membuat pejalan kaki aman melakukan aktivitas.

 Di indonesia sendiri walaupun tidak ada kelas wajib empati seharusnya bisa dilatih, dengan lebih menghargai setiap individu, menjadi pendengar yang baik, dan tidak langsung menyalahkan.

Komentar