
Sumber. https://nasional.kompas.com/
Oleh. Muhammad Arif Adhimuddin
Kita sepakati saja secara sederhana, bahwa masyarakat terbagi dalam
dua kelas sosial yang besar yakni, kelas atas dan kelas miskin. Kategori ini diturunkan dari analisis kelas Marxisme yang sangat popular yaitu borjuis
dan proletar.
Agama memperkenalkannya dengan istilah Si Kaya dan Si Miskin. Kategori ini,
boleh saja diperdebatkan batasannya. Tetapi, kali ini saya ingin menggunakannya
untuk melihat respon dua kelas sosial yang berbeda terhadap wabah pandemi virus
Covid-19 atau disebut dengan corona.
Faktanya, Covid-19 adalah penyakit kelas atas. Kelompok yang
tertular dan menularkannya pertama kali, adalah warga kelas atas. Virus ini menyebar
melalui relasi internasional kelompok elit, atau paling tidak adalah mereka yang
telah pulang dari perjalanan internasional. Sebagai contoh, pasien 01 dan 02 di Indonesia adalah seorang seniman tari Indonesia yang cukup terkenal di
kalangan komunitas seni di negara kita. Ia terpapar
oleh koleganya dari Jepang. Menariknya, dalam kasus pasien 01 dan 02, pembantu rumah
tangganya negatif. Contoh ini semakin terlihat benar ketika Menteri Perhubungan
juga terpapar, dan juga sejumlah berita di media yang menyebutkan, orang-orang
dari warga kelas atas yang terpapar. Di Jawa Timur, begitu juga polanya.
Nah, yang panik dan merespon dengan semangat juga kelas atas.
Teriakan “Sosial Distancing” atau “Lockdown” adalah teriakan kelas atas. Bahasa
asing yang digunakan semakin menegaskan watak kelas atasnya. Mereka saling mengingatkan
untuk “menjauhi” virus ini dengan mengubah tindakan sosial dari intim menjadi berjarak.
Kampanye social distancing bergema di kalangan sesama
kelas atas. Gerakan sunyi dan pendekatan spiritual yang bersifat individual
juga menggema dari kelas atas. Para Agamawan kelas
atas pun kompak meniadakan Shalat Jumat.
Tujuannya jelas, HifdzunNafs, tentu yang di maksud adalah Nafs kelas
atas.
Tampak jelas bahwa kelas atas adalah kelompok sosial yang paling
rawan dan sekaligus paling ketakutan menghadapi virus ini. Gerakan ini tampak cukup
sukses di kalangan kelas atas. Kampus, sekolah, kantor, bahkan masjid ditutup.
Mall, hotel, dan café tempat kelas atas berkumpul mulai sepi. Tanpa perintah tutup
pun, Mall pasti tutup. Pengunjung mereka adalah kelas atas yang sedang mengurung
diri di rumah. Justru mereka akan mengalami kerugian besar apabila memaksa tetap
buka. Mereka akan kesulitan untuk menanggung beban oprasional tanpa dibarengi pemasukan. Pilihan tutup adalah pilihan rasional.
Kelas Atas
Dasar kelas atas, pada gerakan social
distancing mulai dibarengi
dengan Panic Buying. Memborong segala keperluan untuk mencukupi hidup mereka
selama masa ini. Masker, hand sanitizer, vitamin C ludes dari pasar.
Para kelas atas memburu semua resources untuk menyelamatkan diri tanpa memedulikan
warga negara kelas bawah. Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, mereka
“mengurung diri” di rumah untuk tujuan memutus mata rantai penyebaran pandemi ini.
Para kelas atas ini kemudian tampil di media
sosial sebagai pejuang dan petarung dengan cara tidur dan bersendagurau dengan keluarga. Jika bosan, menonton Youtube
dan membuat status heroik di Whatsapp dan Facebook. Kelas atas tanpa sadar menciptakan
dan memlihara “suasana horor”. Satu data tambahan positif Covid-19 segera dialirkan
melalui berbagai Grup Whatsapp. Suasana horor semakin tercipta dan warga kelas atas
semakin ketakutan.
Sikap kelas atas yang sedang mencari dan selamat ini terancam dengan
sikap acuh kepada kelompok kelas bawah. Kaum Proletar ini sama sekali tidak terpengaruh
dengan virus Covid. Suasana perkampungan tempat saya tinggal tetap berlangsung
“normal”.
Virus ini tidak mengubah perilaku sosial untuk mengurung diri.
Sebagian dari kelas bawah terlihat santai. Bagi mereka, virus Covid ini adalah penyakit
para elite. Dan para elite itu tidak banyak bergaul dengan rakyat kecuali untuk
kepentingan yang bersifat politis. Jika jawaban
dari ini adalah social distancing. Maka, mereka pasti selamat. Bukankah jarak
sosial (Social Distance) sudah lama terjadi? Kaum kelas atas tidak pernah
benar-benar menjalin hubungan sosial kecuali untuk kepentingan politik,
ekonomi, dan ritual keagamaan.
Bukankah sebagai kelas atas, waktu kita sudah tersita
oleh kesibukan yang kita ciptakan sendiri melalui rekayasa sistem ekonomi kapitalisme?
Bukankah kita hanya bertemu dengan tetangga atau orang miskin ketika mereka datang
menawarkan sayuran, ikan, atau undangan pernikahan, aqiqah, dan kematian?
Kelas Bawah
Alasan ini, warga kelas bawah sudah lama hidup dalam kekhawatiran karena
ekonomi. Ancaman untuk kelaparan dan tidak mendapatkan penghasilan adalah ancaman
klasik, yang sudah mereka rasakan bertahun-tahun. Untuk bertahan hidup, warga kelas
bawah ini sudah terbiasa “berdamai” dengan penyakit yang ada dalam tubuh.
Demam, flu, TB, asalkan masih bisa berkeringat dan mengangkat batu, mereka pasti
keluar rumah. Tinggal di rumah saja lebih mempercepat kematian. Pilihan satu-satunya
adalah keluar rumah dan mangais di tengah ketidak pastian. Jadi, ketika
kampanye social distancing mulai menggema dari kelas atas, mereka hanya
tertawa dan mengumpat. Kira-kira begini suara hati mereka, “Woi kalian minta kami tetap di rumah dengan segala bahasa asingmu untuk menyelamatkan jiwa kalian...tetapi kami sendiri aka nmati di rumah, siapa peduli kami?”
Jadi, apabila warga kelas atas ini benar-benar menginginkan social distancing berjalan,
hal yang perlu dilakukan bukanlah stay at home saja, tetapi juga
mengaktifkan jaminan sosial. Setiap warga kelas atas harus bergerak untuk memastikan
satu keluarga miskin tidak meninggal dunia karena kelaparan dalam kurun waktu social
distancing dengan cara menjamin hidupnya.
Jika egoisme kelas masih bertahan
memperlihatkan keselamatan diri sendiri, maka apa yang bisa menahan kelas bawah
untuk tetap di rumah sambil menahan perut kelaparan? Jangankan untuk membeli
masker dan hand sanitizer yang harganya melambung tinggi, membeli beras saja
mereka belum tentu bisa.
Bisakah sekarang saatnya kita kampanyekan, “Mari berbagi,
Selamatkan hidup mereka untuk menyelamatkan hidup semua warga Indonesia?"
Keren mas. Saya suka gaya tulisan nya. Tetsp berkarya mas Adhim!!
BalasHapusWaw sangat bermanfaat sekali mas.
BalasHapus