Oleh. Farchan Abdullah
Sekedar intermezzo saja jika kita berbicara soal kasus
korupsi dan banyaknya Narapidana (NAPI) yang terjerat kasus tersebut seakan-akan
kegiatan korupsi di Indonesia bukanlah hal yang tabu. Rencana pembebasan bersyarat
kepada para Napi koruptor pada saat pandemi Covid-19 ini sendiri menuai banyak
sekali polemik. Lika-liku Yasonna H Laoly selaku Menteri Hukum Dan HAM
menegeluarkan kebijakan serta statement mengenai pemberian revisi itu membuat sejumlah
elemen masyarakat geram. Mengapa tidak? Masyarakat sendiri menilai birokrasi mencari
pengalihan isu untuk meringangkan hukuman para koruptor sesuai wacana revisi Peraturan
Pemerintahan (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak
warga binaan pemasyarakatan, apakah hal itu membuat KPK merasa tidak dihargai?.
Memang sejumlah elemen masyarakat geram akan hal itu, namun sejumlah elemen masyarakat
yang lain juga beranggapan ‘Napi juga manusia dan berhak bebas dan berhak juga menjaminkan
diri kesehatannya diatas pandemi ini’, sungguh jenaka negeri ini.
Gagasan yang dikemukakan oleh Menkumham untuk membebaskan
para narapidana termasuk yang terjerat kasus korupsi ditolak oleh Nurul Ghufron
selaku wakil ketua KPK. Di dalam gagasan tersebut terdapat sebuah benang merah,
alasan utama membebaskan sejumlah napi yang terjerat kasus korupsi adalah masalah
kemanusiaan, dan sebagai bentuk implementasi dari physical distancing
yang telah dianjurkan oleh WHO sebagaimana keadaan lapas yang melebihi 300
persen. Memang pandemi Covid-19 ini merupakan ancaman bagi manusia yang
bersifat universal. Namun jika berbicara kemanusiaan, apakah mencuri uang rakyat
ada unsur kemanusiaanya? Sungguh jenaka negeri ini.
Pembebasan napi koruptor ditengah pandemi ini dinilai fenomena
yang tidak produktif dan efisien dari sudut penegakan hukum pidana, berbagai isu
yang terdapat didalamnya seperti isu diskriminasi, dan diberkahinya hak asimilasi,
spesialisasi, dan humanisasi bagi koruptor menjadi bahasan yang menuai berbagai
polemik. Pada dasarnya persepktif penegakan hukum pidana itu tentang mengembalikan
pada bagaimanakah sudut pandang terhadap napi korupsi itu sendiri, bagaimana arah
pemberantasan korupsi, serta bagaimana konsep penanggulannya. Jika seandainya
para koruptor (diluar kriteria sebagaiamana yang dijelaskan Menkumham, yaitu
yang telah berumur 60 tahun keatas dan telah menjalani 2/3 masa hukuman) ini dibebaskan
dengan alasan demikian maka bagaimana komitmen negara ini untuk melakukan upaya
luar biasa dalam pemberantasan korupsi setelah dibuatnya konsep standardisasi dan
metode legal measure yang juga extraordinary? Yang sebagaimana hukum
acara dalam pemberantasan korupsi dinilai lebih ketat dibanding tindak pidana umum
lainnya.
Jika dilihat dengan sebelah mata atau istilahnya suudzon,
membebaskan napi koruptor ditengah pandemi ini dengan alasan upaya pencegahan pemutus
rantai virus Covid-19, pasti bukan itu alasan utamanya. Dengan kata lain ada maksud
dan tujuan yang terselubung didalamnya. Jika dikaitkan dengan teori sosial “Dramaturgi”
anggap saja panggung utamanya atau alasan utamanya yaitu perihal kemanusiaan
dan Covid-19, dan panggung kedua atau dibalik layar yaitu cita-cita lama yang
ingin memberikan keringanan asimilasi agar para napi bebas lebih cepat. Dengan demikian
tentu pemerintah akan membayar sangat mahal andaikan masyarakat kembali harus menjadi
korban kejahatan residivisme.
Secara keseluruhan dengan menggunakan senjata logika,
pilihan untuk membebaskan para napi korupsi tidak semata-mata didasarkan pada
pandemi Covid-19, kelebihan kapasitas, dan sebagainya. Namun, alasan HAM atas dasar
hak asimilasi setiap napi dapat diterapkan tanpa adanya diskriminasi, tetapi kerugian
negara, denda dan uang ganti rugi juga harus terpenuhi. Memang benar tindak korupsi
itu harus dibenci dan dibasmi, akan tetapi membasmi korupsi tidak boleh dengan cara-cara
yang tidak legal dan sepihak, proposional dan humanis.
Komentar
Posting Komentar