Malnutrisi dan Keamanan Pangan

 


Oleh: Ika Nur


Menurut UU No. 18/2012 tentang pangan, definisi Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

 


Hal ini sejalan dengan tujuan SDGs nomor 2—zero hunger—yang berfokus untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan. Targetnya adalah pada tahun 2030 diharapkan segala bentuk kekurangan gizi dapat dihilangkan, termasuk target pada tahun 2025 untuk memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manula (UNDP).

 


Dapat dilihat dari kedua poin yang telah disebutkan di atas bahwa gizi menjadi salah satu indikasi yang penting dalam ketahanan pangan. Seperti yang diutarakan oleh Menteri Kesehatan Indonesia, Nafsiah Mboi (2012), bahwa “Keadaan gizi masyarakat adalah indikator utama ketahanan pangan, …”

 


Namun, keseimbangan gizi di masyarakat sendiri masih menjadi hal yang kurang mendapatkan perhatian. Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang menyatakan bahwa terdapat 2 miliar orang yang tidak memiliki akses terhadap makanan yang aman dan bergizi (tidak hanya di negara dengan tingkat perekonomian redah dan menengah, tetapi juga di negara maju dengan pendapatan yang relatif tinggi) (FAO, 2019). Sekitar 45% kematian di antara anak-anak di bawah usia 5 tahun terkait dengan kekurangan gizi (WHO, 2021). Setidaknya setiap negara di dunia dipengaruhi oleh satu atau lebih bentuk kekurangan gizi.

 


Sebelum masuk lebih dalam, kita nampaknya perlu mengetahui apa itu gizi dan sampai sejauh mana batasan-batasan dalam pembahasan tentang gizi. Menurut Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan ILMU GIZI yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2016, gizi adalah aspek yang berhubungan dengan fungsi dasar zat gizi tersebut yaitu menghasilkan energi, pertumbuhan dan pemeliharaaan jaringan, serta mengatur proses metabolisme dalam tubuh. Tujuan ilmu gizi sendiri adalah mencapai, memperbaiki, dan mempertahankan kesehatan tubuh melalui konsumsi makanan (Mardalena & Suryani, 2016). Konsumsi makanan yang dimaksud bukan hanya sekadar makan dengan kenyang, tetapi kebutuhan gizi harian juga harus terpenuhi.

 


Seperti yang kita ketahui bahwa gizi yang sehat dan seimbang banyak dikampanyekan dengan berbagai program misalnya Food Pyramid (piramida makanan) dan MyPlate (yang dibuat oleh US Department of Agriculture). Dan kedua program ini diadaptasi di Indonesia, yang nama programnya adalah Isi Piringku, (dulunya ‘4 sehat 5 sempurna’). Tabel dari berbagai program tersebut berisi lima kategori: buah-buahan, sayuran, biji-bijian, protein (lauk pauk), dan susu.

 


Dari beberapa kampanye ini kemudian muncul kritik yang menjadi kelemahannya. Tabel sederhana yang ditunjukkan mungkin tidak bisa memberikan informasi terkait semua hal penting tentang apa yang terkandung dalam makan dengan baik. Kebutuhan manusia juga sangat kompleks, di mana semua orang mempunyai proses kimia yang terjadi secara berbeda-beda di dalam tubuhnya.

 


Gizi dan makanan sangat erat dihubungkan dengan berbagai faktor dari masing-masing individu, tidak hanya sebatas fungsi dasar zat gizi dan kesehatan saja tetapi sudah dihubungkan dengan kemampuan kerja, produktivitas, IQ, dan status ekonomi. Semuanya harus dianalisa dengan cara melihat dan menelaah berbagai aspek, mulai dari usia, ras, kondisi geografi, adat istiadat, kondisi kesehatan, jenis kelamin, jumlah makanan yang dikonsumsi, intensitas mengkonsumsi makanan tersebut, riwayat alergi, kegiatan fisik sehari-hari, jam tidur, tingkat stress, kebiasaan-kebiasaan pribadi dan sebagainya, dan bahkan sosio-ekonomi dan politik orang tersebut. Sebagai contoh: makan kacang, bisa jadi kacang di orang A malah merugikan dan sebaliknya di orang B malah menguntungkan.

 


Dilihat dari orang yang aktif berolahraga misalnya, seorang atlet akan gagal memproduksi energi yang cukup jika mereka mengisi setengah dari piring mereka dengan buah-buahan dan sayuran. Para atlet tentunya membutuhkan ekstra protein, khususnya protein hewani seperti telur. Hal ini mungkin akan berbeda dengan seorang yang mengidap penyakit gangguan ginjal. Protein yang berlebih akan membahayakannya. Untuk itu jumlah konsumsi protein pada penderita gagal ginjal sangat dibatasi untuk mencegah kerusakan ginjal yang lebih parah.

 


Dari sini, jumlah dari setiap makananan yang dikonsumsi tentu juga harus disesuaikan dengan setiap aspek yang ada di suatu individu. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam tabel tentang ukuran porsi yang tepat. Tabel juga tidak menunjukkan dengan pasti seberapa besar piring yang digunakan. Memilih piring besar mungkin akan lebih banyak menampung makanan daripada yang kita butuhkan. Sebaliknya, memilih piring yang lebih kecil bisa jadi adalah ukuran porsi yang kurang. Sangat disayangkan meskipun mungkin saat ini banyak teknologi yang menyediakan informasi untuk mempermudah seseorang mengetahui jumlah makanan yang pas untuk dikonsumsi seperti choosemyplate.gov, tidak semua orang memberikan fokus yang dalam pada apa yang menjadi konsumsinya sehari-hari.

 


Lebih membingungkan lagi adalah salah satu komponen yang selalu ada di dalam tabel rekomendasi, yaitu susu. Padahal, banyak orang saat ini yang tidak mengkonsumsi susu karena alergi, menjadi vegetarian, atau pun karena intoleransi laktosa. Para ahli sendiri memperkirakan bahwa tedapat sekitar 70% populasi dunia mengidap intoleransi laktosa (Neville, 2017). Terlebih lagi tidak adanya penjelasan apakah susu yang dimaksud adalah susu tawar ataukah bisa untuk mengonsumsi susu dengan tambahan perasa.

 


Penjelasan-penjelasan yang tidak diberikan dalam tabel program tentunya membutuhkan pendalaman lebih lanjut tentang berbagai aspek dalam mengurangi angka kekurangan gizi.  Memerangi kekurangan gizi dalam segala bentuknya adalah salah satu tantangan kesehatan global yang terbesar.


 

Seperti yang telah dituliskan di atas, ketahanan pangan bukan hanya sesimpel semua orang bisa mengakses makanan dan bisa makan dengan kenyang, tapi juga untuk menjamin bahwa masyarakat/individu juga memiliki akses yang cukup terhadap makanan yang aman dan bernutrisi. Diikuti dengan analisis terhadap informasi dalam tabel program Isi Piringku yang tidak dapat dijadikan acuan bagi kecukupan gizi harian suatu individu. Gizi seorang individu harus didadasarkan sesuai dengan aspek yang ada pada individu tersebut. Sehingga pada akhirnya, angka malnutrisi (kekurangan gizi) dapat ditekan sesuai dengan kebutuhan seorang individu dalam masyakat dan ketahanan pangan pun dapat dicapai.

Komentar